Akhwat sejati

Seorang gadis kecil bertanya pada ibunya, “Ummi ceritakan padaku tentang akhwat sejati?”

Sang Ibu pun menoleh sambil kemudian tersenyum.
Anakku…


Seorang akhwat sejati bukanlah dilihat dari kecantikan paras wajahnya, tetapi dilihat dari kecantikan hati yang ada di baliknya. Akhwat sejati bukan dilihat dari bentuk tubuhnya yang mempesona, tetapi dilihat dari sejauh mana ia menutupi bentuk tubuhnya.

Akhwat sejati bukan dilihat dari begitu banyaknya kebaikan yang ia berikan tetapi dari, keikhlasan ia memberikan kebaikan itu.


Akhwat sejati bukan dilihat dari seberapa indah lantunan suaranya, tetapi dilihat dari apa yang sering mulutnya bicarakan.

Akhwat sejati bukan dilihat dari keahliannya berbahasa, tetapi dilihat dari bagaimana caranya ia berbicara.

Sang ayah diam sejenak sembari melihat ke arah putrinya.“Lantas apa lagi Abi?” sahut putrinya.

Ketahuilah putriku…
Akhwat sejati bukan dilihat dari keberaniannya dalam berpakaian tetapi dilihat dari sejauh mana ia berani mempertahankan kehormatannya.

Akhwat sejati bukan dilihat dari kekhawatirannya digoda orang di jalan, tetapi dilihat dari kekhawatiran dirinyalah yang mengundang orang jadi tergoda.

Akhwat sejati bukanlah dilihat dari seberapa banyak dan besarnya ujian yang ia jalani, tetapi dilihat dari sejauhmana ia menghadapi ujian itu dengan penuh rasa syukur.

Dan ingatlah…
Akhwat sejati bukan dilihat dari sifat supelnya dalam bergaul, tetapi dilihat dari sejauhmana ia bisa menjaga kehormatan dirinya dalam bergaul.Setelah itu sang anak kembali bertanya,

“Siapakah yang dapat menjadi kriteria seperti itu, Abi?” Sang ayah memberikannya sebuah buku dan berkata, “Pelajarilah mereka!”

Sang anakpun mengambil buku itu dan terlihatlah sebuah tulisan “Istri Rasulullah”. (Muslimah Sholihah)

_diambil dari buku surat cinta untuk sang aktivis_

Akhwat dan Bahaya Lisan

posted by asmaul chusna

Bismillahirrahmanirrahim....
Akhir - akhir ini saya sering berpikir tentang titik jenuh seseorang dan kembalinya seseorang pada sebuah titik awal proses hidupnya. kadang bahkan seseorang akan kembali pada masa lalu dan bernostalgia dengan masa lalunya itu. lebih parah lagi ketika seseorang melakukan hal - hal jahiliyah yang seharusnya tidak lagi dilakukan (dan menjaga agar tidak dilakukan) mengingat sudah sekian lama proses proses tarbiyah yang dialaminya atau bahkan diberikanya pada orang lain. dan tulisan ini hanya ingin berbagi kegelisahan yang mungkin kita ingkari jawabannya.

*******

idealnya seorang akhwat paham akan etika etika dan bersahaja (Terlepas dari perbedaan karakter dasarnya yang mungkin kalem atau meledak ledak). karakter dasar yang telah tertarbiyah tetap akan menciptakan sebuah identitas khusus dari proses tarbiyah itu sendiri. karakter dasar yang telah tertarbiyah tentu akan lebih mapan dalam bertindak, berkata, tersenyum, bahkan ! dan kadang bahaya lisan itu masih bisa menjangkiti muslimah yang notabene telah tertarbiyah (apalagi yang belom !). entahlah mungkin ini belum bisa disebut fenomena tapi harus juga untuk bahan intropeksi ? (terutama buat saya)
Bahaya lisan adalah satu penyakit yang paling cantik dan menyenangkan dikalangan perempuan pada umumnya. dari mulai ngobrol, curhat sampai kadang tanpa sadar membeberkan aib aib saudara - saudara kita dan jadilah aib - aib itu sebagai rahasia umum walaupun kadang setiap orang tidak sadar sebagai penyebarnya karena telah merasa memakai kalimat penutup "jangan bilang siapa siapa lo ya..." nah loh ?
bila demikian apa bedanya muslimah yang telah tertarbiyah dengan perempuan perempuan lain ? bila yang seharusnya kita jaga dan kita lindungi dari bagian tubuh kita (bukankah muslim yang satu adalah bagian dari muslim yang lain ?) telah tercoreng dan menjadi sesuatu dan diperbincangkan oleh orang lain. tidakkah kita risih ?
ada lagi yang lain. dalam suatu kajian motivasi akhwat. hmmm... ternyata salah satu ketidakpedean muslimah itu saat berada di forum ikhwan-akhwat atau ketika ada didepan ikhwan. tapi saya tidak habis pikir, diantara perbincangan sehari hari seorang akhwat, dikost kostan akhwat, masih banyak juga perbincangan hangat dan mesra tentang ikhwan. (termasuk dikost an saya... hihihi) .siakhi ini beginilah, si akhi itu begitulah. yang lebih parah kalau ada hubungan struktural dalam aktivitas, atau kebetulan akrab dan sebenarnya merupakan keakraban yang wajar. eeee.. akhwat yang lain malah ngomporin dan sebagainya.alhasil, yang tadinya biasa aja, karena sering dikondisikan teman2 sekost jadi punya perasaan yang luar biasa. nah loh ????.....dari apa ? bukankah dari lisan juga ? bukankah tanpa sadar kita sering menjadi pemicu awal kemaksiatan saudari saudari kita ?

hmmm... selain perempuan saya juga ingin tulisan ini dibaca juga oleh para laki laki karena mungkin saja penyakit perempuan ini juga menjangkiti laki laki. hmmmmm.........

entah terlepas dari sepakat atau tidak sepakat yang jelas tulisan ini adalah sebuah kegelisahan yang coba saya ekspresikan. yang notabene bagian dari sitergugat... ceile...
hanya saja sepertinya setiap kita (laki laki dan perempuan, ikhwan-akhwat) harus selalu bertanya lagi dan terus bertanya tentang proses proses tarbiyah yang kita jalani , pencarian yang kita lakukan dan pengimplementasian apa yang kita dapatkan. bagaimana akhwat fillah ? bukankah kita harus terus intropeksi ?

hidup adalah rangkaian perjuangan dan rangkaian evaluasi dari perjuangan (intropeksi) jadi merugilah siapa yang telah berjalan tapi tidak pernah mereview kembali langkahnya.
Dalam hadist arbain nawasi menyebutkan kemudian Beliau bersabda : maukah aku beritahu sesuatu (yang jika kalian laksanakan) kalian dapat memiliki semua itu ? saya berkata : mau ya Rasulullah. maka Rasulullah memegang lisannya lalu bersabda :" jagalah ini (dari perkataan kotor dan buruk) . saya berkata :" ya Nabi Allah apakah kita akan dihukum juga atas apa yang kita bicarakan ? beliau bersabda : ah kamu ini, adakah yang menyebabkan seseorang terjungkel wajahnya dineraka atau sabda beliau : diatas hidungnya , selain buah yang diucapkan dari lisan - lisan mereka. dan akhirnya aku berlindung kepada Allah dari perkataan yang sia - sia dan menyakitkan....
Saudariku..... Rasulullah tidak pernah melihat seberapa pandai atau luasnya wawasan yang dimiliki seseorang , tapi Rasulullah melihat bagaimana ia dapat menyelesaikan tugas - tugas dakwah dengan baik begitu juga umur tarbiyah seseorang bukan jaminan ia dapat lebih sholeh / sholehah dari mereka yang baru terbiyah dalam hitungan bulan. mudah mudahan ini menjadi tadzkiroh buat kita semua.... terutama buat diri ini pribadi. amin

kaburo maqtan indallaha an taquuluu maa laa tafaluun

wallahu'alam bishowab

Akhwat Gaul*, Antara Kebebasan dan Keterbukaan

posted by asmaul chusna under bengkel ideologi

Pengalaman seorang akhwat ketika masih SMA, waktu itu ada pertemuan antara pihak sekolah dengan pengurus mushollah. Pihak sekolah ingin bertemu dengan semua pengurus, laki-laki maupun wanita. Maka itulah kali pertama para akhwat menyebrangi hijab di Mushollah, yang membatasi ruang laki-laki dengan wanita. Berada dalam satu ruangan, dengan posisi berhadap-hadapan walau berjarak cukup jauh, itu situasi yang langka. Karuan saja rasa kikuk menyerbu saat itu. Para akhwt duduku kaku tertunduk, kalaupun bersuara hanya berbisik. Dan ketika pertemuan berakhir, rasanya baru bisa bernapas lega.
Pengalaman lain, ketika seorang akhwat sedang berjalan bersama akhwat yang lain, kebetulan berpapasan dengan dua orang ikhwan kakak kelas. Mungkin ada keperluan dengan memberi salam. Salam itu dijawab akhwatnya tapi sejurus kemudian yang terjadi adalah saling dorong, siapa yang mau bicara dengan ikhwan itu. Tak ada yang mengalah. Alhasil, akhwat berdua itu malah bergegas pergi sambil mencari-cari akhwat yang seangkatan dengan ikhwan tadi. Terlau…?!Tapi zaman sudah berubah, jangankan berada dalam satu ruangan dengan posisi berhadap-hadapan, makan bersama di satu meja pun, OK-OK saja. atau berada dalam satu mobil dan bercanda ria sepanjang perjalanan, itu sudah biasa. Bahkan, dalam forum yang seharusnya formal seperti rapat sekalipun, atmosfir saling ‘mencela’ dan bergurau antara ikhwan dan akhwat tidak sulit ditemui.Sempat terpikir, mungkin perubahan yang terjadi semata-mata bentuk penyesuaian dakwah yang semakin terbuka. Namun jika sekian fenomena menyuarak: ikhwan dan akhwat berlama-lama ngobrol di telepon (padahal yang membayar tagihan orang tua), ada yang memasang foto sesama aktifis kampus pujaannya di meja belajar, ikhwan dan akhwat sudah berani ‘jalan bareng’, padahal mereka tak tahu apa-apa tentang taqdirullah. Akhwat yang mengalami depresi berat karena ‘ditinggal’ menikah oleh seorang ikhwan, bahkan ikhwan dan akhwat berhubungan terlalu jauh sampai berzina… itu semua bukan kebetulan kan?!

Ilustrasi pertama dan kedua, sebetulnya sama-sama tak layak ditiru. Sikap yang terlalu kaku justru menghambat komunikasi. Namun gaya komunikasi yang terlalu cair tentu saja beresiko membuka celah kemaksiatan. Lalu tidakkah mungkin bahwa ternyata kedua ‘kekeliruan’ tadi seharusnya punya satu pokok masalah, yaitu pemahaman?

Terkadang kita terjebak dengan group value. Kita mengikuti suatu nilai, semata-mata karena nilai itulah yang dianggap berharga dalam kelompok. Boleh jadi karena menganut group value itulah, sehingga dulu ada budaya ikhwan-akhwat bicara dengan posisi saling membelakangi. Sampai-sampai ada seorang ikhwan yang terus menerus bicara, padahal lawan bicaranya sudah pergi entah kemana.
Dan kini, mungkin karena group value juga sehingga ada tren akhwat pulang malam. Awalnya karena kepentingan mendesak, tapi lama-lama muncul pameo: akhwat yang tidak pulang malam, jam terbangnya diragukan?! sungguh menyedihkan ketika ada seorang akhwat berujar, “Dulu di SMA saya jarang sekali bergurai dengan ikhwan, tapi setelah di kampus bertemu banyak ikhwan yang sering mengajak bergurau, saya jadi terbiasa….” Lho?!

Harus kita ingat bahwa tarbiyah bukan proses labelisasi. Tarbiyah tak bertujuan membuat kita menjadi produk-produk homogen yang monoton, jumud ataupun imma’ah (ikut-ikutan) . Melainkan diharapkan menjadi orang yang memiliki standar yang jelas dalam setiap sikap.

Dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 177, Allah mencela orang-orang musyrik yang menyandarkan nilai-nilai kebajikan (Al-Birr) pada persangkaan jahiliyah mereka. Sedangkan pada surat al Israa’ ayat 36, Allah SWT mengingatkan agar kita tidak mengikuti sesuatu jika tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.

Bicara tentang pergaulan aktifis islam, jelas aktifis muslimah memainkan peran penting di dalamnya. Melongok kiprah shahabiyah dalam berinteraksi dengan masyarakat, meraka bukan sosok steril yang tidak melakukan interaksi dengan kaum laki-laki.

Di antara mereka ada yang menyampaikan tuntutannya dengan Rasulullah, menjenguk muslim yang sakit, turut serta dalam perjamuan dan berbagai pertemuan, ikut berdinamika dalam berbagai peperangan, menyampaikan kritik secara langsung dan terbuka kepada khilafah, bahkan istri-istri Rasulullah menjadi tempat bertanya para shahabat setelah Rasulullah saw wafat.

Namun satu hal yang harus dicatat, bahwa para shohabiyah dan generasi muslimah terdahulu melakoni segala hak kebabasan mereka dengan pemahaman, penuh kehati-hatian, dan kontrol diri yang kuat.

Misalnya saja pada kisah dua orang puteri Nabi Syu’aib as. Mereka tidak menutup mata dari tugas memberi minum ternak, dalam rangka berbakti kpd orang tua. Mereka juga sadar, bahwa tugas itu harus mereka jalani dengan resiko harus berhadapan dengan laki-laki yang bukan mahram. Maka dengan sabar mereka hadapi resiko itu dengan strategi menunggu giliran memberi minum sehingga mereka tak perlu bercampur baur dengan laki-laki yang bukan mahramnya.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, dikisahkan seorang muslimah datang dan menyerahkan dirinya (agar dinikahi) kepada Rasulullah saw. Ia paham bahwa ia memiliki kebebasan menawarkan dirinya kepada muslim yang sholih.

Namun ketika ia melihat Rasulullah saw tidak memutuskan apa-apa mengenai dirinya, ia pun duduk dan bahkan membiarkan Rasulullah saw menikahkannya dengan laki-laki lain. Nyata sekali bahwa ia menyerahkan diri kepada Rasulullah saw semata-mata dalam rangka baktinya kepada beliau, bukan karena hawa nafsu. Betapa indah cara mereka membingkai dirinya dengan pemahaman.

Ketika seorang muslimah memahami kebebasannya, pada saat yang sama ia juga harus memahami keterbatasannya. Ia haru memahami bahwa dirinya mempunyai potensi fitnah yang besar. Kalau saja potensi itu sesuatu yang bisa diabaikan, tentunya Rasulullah tidak sampai bersabda, “Aku tidak meninggalkan sesudahku fitnah bagi kaum lelaki lebih berbahaya daripada perempuan” (Muttafaqun alaihi)

Seorang muslimah, terutama dalam usia belia, harus memahami bahwa pertemuannya dengan seorang laki-laki memiliki kemungkinan dimanipulasi oleh setan yang terkutuk. Dalam satu riwayat Ath-Thabrani dan Ali dikatakan Rasulullah saw bersabda “Aku melihat seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang sama sama masih muda belia. Aku khawatir keduanya akan dimasuki oleh setan”

Terkadang aktifis muslimah begitu cepat tsiqoh dan merasa save ketika berinteraksi dalam ruang lingkup organisasi Islam. Ia berpikir “Toh senior dan teman-teman saya adalah orang yang paham” Akibatnya ia tidak membangun imunitas yang cukup kokoh untuk melindunginya dari kemungkinan berzina. Padahal, setiap manusia memiliki kecenderungan berzina.

Dari Ibnu Abbas dikatakan: “Aku tidak pernah melihat sesuatu yang lebih mirip dengan perbuatan dosa kecil dibandingkan apa yang dikatakan oleh Abu Hurairah mengenai Nabi saw, yaitu Nabi bersabda: “Sesungguhnya Allah menentukan manusia cenderung berzina. Hal itu sama sekali tidak bisa dihindari dan pasti terjadi. Zina mata adalah memandang, zina lidah bertutur, zina nafsu adalah berharap-harap dan berkeinginan mendapatkan sesuatu, sementara kemaluan membenarkan atau mendustakan hal tersebut.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Abdul Halim Abu Syuqqah dalam kitab Tahrirul Mar’ah fii ‘Ashrir Risalah mengemukakan bahwa Islam telah mengatur peran wanita dalam kehidupan sosial dengan etika yang sangat sempurna. Etika tersebut memiliki karakter sebagai berikut:

Pertama, etika tersebut tidak menghambat proses keseriusan hidup serta tetap mempertahankan akhlak dan harga diri manusia.

Kedua, etika tersebut menumbuhkembangkan kesejahteraan dan kemakmuran, menjauhkan manusia dari kemungkaran sekaligus menempanya sehingga tidak terseret arus kejahatan.

Ketiga, etika tersebut menjamin kesehatan mental laki-laki dan wanita secara merata karena tidak membuka peluang sikap berlebih-lebihan, melanggar norma asusila atau memancing syahwat.
Selain itu, etika itupun tidak menimbulkan sikap pura-pura malu, tidak menimbulkan perasaan sensitif yang berlebihan terhadap lawan jenis, serta tidak menimbulkan seorang wanita menutup diri dari seorang laki-laki.

Sebaik-baik urusan adalah pertengahan. Ali ra mengatakan, “Hendaklah kalian mengambil model atau contoh yang pertengahan. Yang terlanjur hendaklah surut dan yang tertinggal hendaklah menyusul.”

Wallahu a’lam bis shawab

buka youtube disini aj..